Apakah Mahasiswa Akan Lebih Baik dengan atau Tanpa Exit Exam ?



Uji kompetensi perawat yang dijadikan sebagai exit exam (syarat kelulusan perguruan tinggi) secara sepihak oleh direktorat jendral pendidikan tinggi (Ditjen Dikti) kementrian kebudayaan (Kemendikbud) melalui surat edaran dengan nomor 704/E.E3/DT/2013 dan 370/E.E3/DT/2014 akhirnya dikaji kembali. Kemudiaan pada tanggal 18 Juni 2014 keluar surat terbaru dengan nomor 529/E.E3/DT/2014 tentang Status Uji Kompetensi bagi Mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan, DIII Keperawatan dan Ners.
Surat ini keluar merupakan bentuk kesadaran bahwa legalitas uji kompetensi perawat ini tidak kuat, bahkan penyelenggaraannya inkonstitusi dan melanggar hukum. Meskipun pada surat edaran nomor 370/E.E3/DT/2014 menerangkan landasan hukumnya yaitu pasal 44 undang-undang (UU) no. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Namun pada pasal tersebut tidak ada amanah penyelenggaraannya sebagai exit exam bahkan peraturan pemerintah yang diturunkan dari pasal tersebut pun tidak ada.
Pada surat edaran nomor 529/E.E3/DT/2014 berisi “setelah melihat hasil Uji Kompetensi Mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan, Keperawatan dan Ners, diperlukan perbaikan-perbaikan pada sistem pendidikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka uji kompetensi dilakukan untuk melakukan  pemetaan kualitas dan pembinaan, sehingga belum digunakan untuk menentukan kelulusan”. Keluarnya surat edaran tersebut menjadi landasan bahwa uji kompetensi perawat bukan sebagai exit exam (syarat kelulusan perguruan tinggi). Surat tersebut menjadi klarifikasi dan jawaban terhadap saran dari berbagai pihak untuk menelaah kembali uji kompetensi yang diadakan saat ini.
Beberapa masalah yang terjadi beberapa bulan kebelakang terkait dengan uji kompetensi perawat terjawab semuanya. Masalah tersebut lahir dari adanya surat edaran yang menyatakan uji kompetensi sebagai exit exam. Masalah tersebut antara lain; menunggunya kelulusan mahasiswa yang sudah selesai pendidikan diploma maupun profesi bahkan tidak mendapatkan ijasah karena belum mengikuti uji kompetensi. Sehingga dengan adanya surat edaran ketiga terkait dengan uji kompetensi perawat ini, kedepannya diharapkan tidak ada lagi mahasiswa yang menunggu kelulusannya lantaran belum mengikuti uji kompetensi, apalagi sampai adanya penahanan ijasah.

Lalu untuk apa uji kompetensi perawat digunakan saat ini?
Pada surat edaran ketiga berbunyi bahwa uji kompetensi dilakukan sebagai pemetaan kualitas dan pembinaan. Ini sebenarnya menjadi hal yang keliru dan memaksakan adanya uji kompetensi yang bukan jadi wewenang Ditjen Dikti. Fungsi uji kompetensi jika mengacu pada peraturan menteri kesehatan (PMK) Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi. Uji kompetensi dilakukan untuk mendapatkan sertifikat kompetensi yang kemudian sebagai syarat mendapatkan surat tanda registrasi (STR) yang dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI).
Jika saat ini uji kompetensi perawat digunakan hanya sebagai pemetaan kualitas dan pembinaan, apa bedanya dengan penyelenggaraan try out /uji coba yang diselenggarakan oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI). Pada hasil uji coba tersebut yang diambil dari soal yang secara substantif tidak berbeda akan menghasilkan nilai-nilai mahasiswa keperawatan yang mengikutinya.
Sebenarnya kekisruhan dan ketidakjelasan uji kompetensi perawat saat ini dapat diselesaikan dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Keperawatan (RUUK). Pada pasal 1 maupun secara lengkap pasal 28 RUUK menjelaskan status uji kompetensi hingga proses pelaksanaan uji kompetensi secara umum. Ini yang menunjukkan RUUK menjadi penting disahkan untuk masyarakat, pemerintah, elemen keperawatan baik itu mahasiswa keperawatan, dosen keperawatan dan perawat itu sendiri.
Lalu apakah mahasiswa akan lebih baik tanpa atau dengan Exit Exam ?
Uji kompetensi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mengukur kesesuaian antara kemampuan dengan standar profesi, seperti yang dikemukakan oleh (Primadi,2010) bahwa uji kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi. Uji kompetensi dilakukan agar tenaga kesehatan layak secara kognitif afektif dan psikomotor untuk melakukan praktek pelayanan kesehatan. Kelayakan melakukan praktek pelayanan kesehatan ini dinyatakan melalui Surat Tanda Registrasi (STR).
STR ini diterapkan sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan, melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan tenaga kesehatan (Primadi,2010). Pelaksanaan uji kompetensi seharusnya ditunjang oleh fasilitas dan tenaga pengajar yang mumpuni, seperti pada tahap proses pendidikan ditunjang dengan kualitas kurikulum yang sesuai dengan perkembangan serta standar dan tuntutan perkembangan yang ada. Kondisi tersebut akan terlihat dari kualitas lulusan yang tentunya akan mempengaruhi kualitas profesi tenaga kesehatan khususnya perawat. Uji kompetensi ini akan menguji kualitas dari lulusan yang dihasilkan, yang tentunya kualitas institusi penyelenggara pendidikan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hal kelulusan peserta didik terhadap uji kompetensi yang dilakukan.
Tujuan baik dari uji kompetensi ini tentunya haruslah kita dukung, akan tetapi tujuan baik ini haruslah ditunjang dengan pengeloaan yang baik pula supaya apa yang diharapakan dapat dicapai. Hal itulah yang perlu kita sikapi dan perhatikan karena terkadang menjadi dilema. Uji kompetensi ini telah diberlakukan mulai tahun 2013 dengan exit exam artinya uji kompetensi menjadi satu kesatuan dari penyelenggaran proses pendidikan, sebagai gambaran seorang mahasiswa akan dapat yudisium dan mendapatkan ijasah apabilah telah dinyatakan lulus uji kompetensi dengan dibuktikan melalui surat kelulusan dari panitia nasional uji kompetensi kepada institusi pendidikan untuk dikeluarkan sertifikat uji kompetensi kepada para lulusan. Sertifikat ini nantinya akan menjadi syarat dalam memperoleh STR dari Dina Kesehatan, setelah itu barulah para lulusan tersebut dinyatakan sebagai seorang perawat. Dapat kita bayangkan disini bahwa sekian tahun proses pendidikan yang dilalui ternyata hanya ditentukan oleh selembar sertifikat kelulusan uji kompetensi. Pertanyaan besar muncul, bisakah hal itu menjadi jaminan lulusan telah kompeten? Jawaban pertanyaan tersebut menjadi tidak jelas karena kita belum melihat bagaimana hasil dari uji kompetensi tersebut. Secara rasional kita akan berfikir ketika ujian berharap semua dapat lulus, tapi bagaimana dengan mahasiswa yang belum lulus uji kompetensi? Mahasiawa yang tidak lulus uji kompetensi tentunya tidak dapat mengikuti yudisium dan harus menunggu untuk uji kompetensi berikutnya. Kondisi ini bukan saja menjadi beban moril bagi mahasiswa itu sendiri karena harus menunggu untuk uiian kompetensi berikutnya tetapi juga menjadi beban moril institusi penyelenggara pendidikan. Persoalan teknis yang terjadi adalah waktu tunggu bagi mahasiswa yang lama dan selalu berubah-ubah sehingga tidak memberikan kejelasan waktu bagi mahasiswa bisa lulus serta mendapat ijasah agar mereka dapat segera mendapatkan pekerjaan.
Beberapa pengelola institusi pendidikan keperawatan baik swasta maupun negeri, pada umumnya mereka setuju dengan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas lulusan dan menyeragamkan standar institusi pendidikan yang menghasilkan lulusan, tetapi mungkin perlu ditinjau ulang terkait dengan pelaksanaan uji kompetensi sebagai exit exam karena selain waktu tunggu yang relatif lama dan waktu ujian yang selalu berubah sementara setiap institusi memiliki kalender akademik yang berbeda-beda yang tentunya hal ini dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Tuntutan sosial juga akan dialami mahasiwa yang belum lulus uji karena waktu sekolah menjadi lebih lama sehingga akan timbul pertanyaan bukan hanya dari orang tua saja tetapi juga masyarakat sekitar atau lingkungan, belum lagi kebijakan institusi yang berbeda-beda terkait dengan penambahan waktu semester yang akan berpengaruh terhadap biaya yang harus ditanggung mahasiswa.
Pelaksaan ujian kompetensi secara Computer Based Test (CBT) ini sendiri berjalan bukan tanpa kendala, menurut salah seorang pengelola institusi pendidikan kesehatan negeri yang juga sebagai koordinator regional tiga Asosiasi Pendidikan Ners Indonesia menyatakan bahwa keterbatasan CBT terutama untuk wilayah timur Indonesia serta keterbatasan soal yang tersedia di bank soal menjadi kendala utama dalam pelaksanaan uji kompetensi tersebut.
Tujuan standarisasi kualitas tenaga kesehatan secara nasional memang harus dilakukan sesuai dengan UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permendiknas Nomor 83/2013 tentang Sertifikat Kompetensi dan Permenkes Nomor 46/2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan, dasar hukum tersebut menjadi dasar timbulnya peraturan bersama antara Kemendikbud dan Kemenkes yaitu PB Uji Kompetensi No. 36/2013 dan No.1/IV/PB/2013 tentang Panduan Penyelenggaraan Uji Kompetensi Perawat, Bidan dan Ners tahun 2013. Peraturan bersama tersebut sudah mengatur tentang pelaksanaan teknis penyelenggaraan uji kompetensi yang seharusnya dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelaksaaan uji kompetensi agar kendala yang terjadi dapat diminimalisir. Komitmen yang tinggi dalam hal ini sangat dibutuhkan supaya tujuan baik untuk standarisasi kualitas dapat terwujud dengan lebih bijaksana.
Fakta menunjukan bahwa sarana dan prasarana pendidikan kesehatan di setiap institusi penyelenggara sangat beragam sehingga secara logika tentunya akan berpengaruh terhadap kulaitas lulusan yang dihasilkan sehingga terjadi ketimpangan antara satu institusi dengan institusi lain. Pemerintah sebaiknya berupaya menyelesaikan masalah secara bottom up artinya bahwa penyelesaian masalah dimulai dari institusi penyelenggara terlebih dahulu, untuk meningkatkan kualitas lulusan tenaga kesehatan pemerintah harus lebih intens melakukan monitoring, pembinaan serta evaluasi eksternal terhadap institusi penyelenggara pendidikan kesehatan agar tetap berada dalam standar yang ditentukan, tidak membiarkan berjamurnya institusi penyelenggara pendidikan kesehatan yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas sesuai standar karena pada akhirnya akan menimbulkan masalah serta kerugian dimana masyarakatlah yang akan menjadi korbannya.
Kami berharap pemerintah lebih bijaksana dalam membuat dan melaksanakan kebijakan terkait uji kompetensi ini, upaya yang dilakukan memang sangatlah baik tetapi diperlukan kajian lebih dalam terhadap pelakasanaan uji kompetensi dengan exit exam. Gejolak pelaksanaan uji kompetensi sudah dirasakan dan panitia pelaksana ujian dirasakan belum cukup siap melaksanakan uji kompetensi ini, sangat bijaksana apabila pemerintah secepatnya mengevalusi pelaksanaan uji kompetensi ini dari dampak yang terjadi dan secepatnya untuk ditindaklanjuti.
Ketidaksiapan bukan berarti kita harus menghentikan niat baik ini, tetapi belajar dari kekurangan dan kesalahan agar tidak terjadi lagi kekurangan dan kesalahan yang sama di masa yang akan datang.

#ApakahMahasiswaAkanLebihBaikdenganatauTanpaExit-Exam ?
#KASTRAD2018-2019
#HIMIKASSG


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tim Perwakilan HIMIKA SSG Berhasil Meraih Juara 1 KTI dan Poster Ilmiah di PILKETNAS Tanjung Pura

Open Recruitment Futsal Klub

STANDAR DIANGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA